Selasa, 26 Juni 2012

Ma'hadi Jannati


Saya adalah seorang anak yang merantau dari Sumatra Barat ke Sumatra Selatan. Cerita ini adalah kisah nyata dariku, yang memiliki suatu impian ingin sekolah ke pondok pesantren. Dan ingin menjadi seorang da’i pada suatu saat nanti. Tapi pada awalnya aku tidak yakin akan meraih impian itu, karena aku adalah seorang anak yang tergolong miskin, yang mustahil untuk berkeinginan masuk ke pondok pesantren dan menjadi seorang da’i yang terkenal. Tapi aku yakin… kalau aku pasti bisa menjadi apa yang aku inginkan.
            Pagi itu adalah pagi yang cerah bagiku, betapa tidak karena hari itu kami sekeluarga akan merantau ke Sumatera Selatan. Kami sekeluarga tidak membawa barang apapun, kami hanya bisa membawa pakaian apa yang hanya kami pakai, dan uang secukupnya.
            Ayah dan ibuku tidak tahu harus ke mana, yang jelas ia mengatakan kalau kita harus merantau ke Palembang.
            Ayahku mengatakan,
            “Wahai anak-anakku, ingatlah apapun yang akan terjadi kepada kita semua nantinya kalau Allah SWT selalu bersama kita sampai kapan pun, dan di manapun kita berada. Dan jangan pernah kita semua untuk melupakan semua nikmat yang Dia berikan kepada kita semua.”
            Sungguh… hatiku seketika menangis akan nasihat seorang ayah yang sangat berhati mulia. Dia adalah seorang ayah yang sangat aku sayangi. Hari demi hari telah kami lalui semua, dan sampailah kami di Sumatera Selatan, yang tempatnya di kota Palembang.
            Ketika sampai di Palembang ayah dan ibuku bingung bukan kepalang, karena arah dan tujuan kami tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya kami menuju ke pasar yang sangat terkenal di kota Palembang, yaitu pasar Cinde namanya.
      
      Selama bertahun-tahun, berbulan-bulan dan berminggu-minggu kami mencari uang di pasar Cinde untuk bertahan hidup. Kami tidak memiliki harta bahkan rumah sekali pun. Kami hanya tinggal di mana tempat yang kami sukai.
Ketika itu ayahku membuat rumah yang berdinding kardus, dan beratap daun rumbian. Yang hanya bisa menampung lima orang di dalamnya. Kami semua berjumlah sembilan orang, dan tujuh bersaudara. Dan aku termasuk anak yang paling terakhir dari tujuh bersaudara.
Di pasar Cinde kami semua berkerja untuk mencari uang. Semua kakak-kakakku juga mencari uang di pasar Cinde, tak terkecuali juga diriku. Pekerjaan yang kami lakukan berbagai macam bentuk. Semua yang bisa menjadikan uang kami kerjakan. Dari membantu pedagang untuk mengangkat barang-barangnya, menjual tempe, dan menjadi tukang kuli di pasar. Dan termasuk juga diriku menjual kantong plastik di pasar Cinde. Seperti itulah hari-hari yang harus kami jalani.
Semua pahit manisnya hidup di Palembang kami rasakan dengan rasa syukur atas apa yang Allah berikan. Juga ayah dan ibuku bekerja sebagai tukang menjahit sepatu dan sandal di pasar Cinde. Bisa disebut juga sebagai tukang sol.
Waktu itu umurku sudah menginjak enam tahun, karena waktu ketika merantau dari Padang ke Palembang umurku baru tiga tahun. Aku ingin sekali sekolah seperti anak-anak Palembang lainnya. Dan aku ingin sekali sekolah di pondok pesantren, karena impianku waktu itu ingin menjadi seorang da’i yang bisa membawa umat ini menjadi umat yang berkualitas.
Dan pada tahun 1999 kami sekeluarga pindah ke Ilir Timur II Palembang, yang tempatnya di daerah pasar Lemabang, karena pada waktu itu rumah yang ayah buat dihancurkan oleh petugas keamanan pasar di Cinde, dan terpaksa kami semua pindah ke pasar Lemabang. Dan ternyata di pasar itu terdapat banyak pedagang yang berasal dari Sumatera Barat.
Alhamdulillah kaimi bisa mengontrak rumah yang dapat kami tempati, walaupun hanya rumah yang gubuk. Seakan-akan kalau ada angin yang keras maka rumah itu akan hancur berantakan. Pada tahun itu pula aku mulai masuk SD Negeri 466 JL. Gotong Royong, Kec. Sungai Buah. Waktu itu seakan-akan aku bermimpi bisa sekolah sama seperti anak-anak Palembang lainnya. Walaupun aku tidak bisa masuk SD di pesantren karena ayah dan ibuku tidak sanggup untum membayar uang pendaftaran di pesantren.
Tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa melanjutkan sekolahku ke pondok pesantren. Setiap hari aku mencari uang di pasar Lemabang karena untuk membayar SPP ku di sekolahan. Dari awal masuk SD sampai aku tamat aku tidak pernah meminta uang sepersen pun untuk biaya sekolah kepada kedua orang tuaku. Semua biaya SPP sekolah aku yang membayar dan mencari uang sendiri untuk semua impianku ingin menjadi seorang yang sukses suatu saat nanti.
Pukul 06.00 WIB, pagi itu aku berangkat ke sekolah sampai pukul 12.00 WIB dalam setiap harinya. Sepulang sekolah aku mulai bergegas untuk pergi ke pasar dengan membawa seperangkat daganganku yaitu kantong plastik, beberapa paks dan ku masukkan ke dalam ranselku.
Aku tidak pernah menyerah untuk mencari uang di pasar. Walaupun hujan yang sangat deras sekali pun, aku tetap pergi ke pasar untuk meraih semua impian-impian yang ku ukir di lembaran kertas-kertas yang bila kulihat sudah tak layak lagi untuk dipakai, karena sudah lumayan tua umur buku catatan impianku yang sekrang insya’ Allah masih ada, walaupun telah rusak.
Anak seorang miskin yang ingin menjadikan dirinya sukses di kemudian hari kini masih tetap bisa melanjutkan sekolah di Sdnya, walaupun setiap bulan dipanggil oleh kepala sekolah karena selalu menunggak dalam pembayaran SPP. Walaupun dia tak bisa sekolah dengan memiliki uang banyak dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki harta banyak di SD tersebut tapi dia yakin dia pasti bisa.
Mungkin di SD itu aku adalah termasuk anak yang paling miskin, seragamku pun adalah sumbangan dari berbagai tetangga yang ada di sekitar rumahku. Dalam benakku selalu mengatakan,
“Walaupun aku adalah anak seorang yang miskin tidak memiliki apapun, tetapi semangat juangku untuk meraih impianku takkan pernah luntur walaupun aku sakit sekalipun, aku tidak akan pernah menyerah dengan orang-orang yang memiliki harta yang banyak.”


*** *** ***
           
            Suatu hari ibuku pernah berpesan kepadaku,
            “Anakku, yakinlah kalau sesungguhnya orang yang kaya belum tentu bisa meraih impiannya, tetapi orang yang miskin pasti bisa meraih impiannya, dengan catatan ia harus berusaha, yakin dan ikhtiar.Itu yang harus kamu tanamkan di dalam hatimu yang paling dalam. Sampai akhirnya akupun menangis dan tertidur di pangkuan sang ibu yang tercinta.
            Ujung jari-jemariku menyentuh bintang-bingtang kecil yang berterbangan di angkasa raya, satu persatu aku geser dari tempat asalnya, kemudian kurangkai ribuan bintang-bintang kecil itu menjadi sebuah gambar rumah yang megah dan indah. Lalu tak lupa kuukir wajah ayah dan ibuku yang sedang tersenyum bahagia di atas rumah yang megah dan indah itu. Aku pun tersenyum bahagia.
            “Angga… Angga…! Bangun nak!” tersentak aku terjaga dari tidurku manakala ibuku tercinta memanggil seraya membangunkan aku dari tidurku. Jemarinya yang lembut menyentuh raut wajahku.
            “Besok kamu mau puasa atau tidak, Ngga?” tanya ibu.
            Saat ku buka mata memandang wajah beliau terlihat senyuman kecil dari bibirnya yang dalam.
            “Iya bu, besok aku mau puasa,” jawabku sambil membuang pandanganku karena malu. Lalu aku menggosok-gosok kedua mataku dengan kedua telapak tanganku, seraya memperjelas pandanganku.
            Namun ibu tak langsung beranjak pergi, dia malah duduk di pinggiran kasur tempat tidurku tang terletak di lantai. Perlahan tangan kanannya meraih kepalaku yang masih membuai di atas bantal, sekali lagi jemarinya membelai rambutku dengan lembut dan penuh kasih sayang.
            “Dari tadi ibu ingin membangunkanmu. Cukup lama juga ibu memperhatikan raut wajahmu yang masih tertidur pulas sambil tersenyum. Kamu sedang bermimpi ya nak?” tanya ibu.
            Seketika saja aku bangkit dari tidurku seraya menyudahi belaian ibu yang masih saja membuat aku tertidur kembali. Ya, aku memang selalu merasa nyaman bila di dekatnya.
            “Apakah ibu ingin selama mengontrak rumah? Apakah ibu tak ingin punya rumah sendiri yang besar dan indah?”
            Ibuku hanya mengeryitkan keningnya, seolah ingin menyatukan kedua alis matanya yang terpisah. Tentu ia heran dengan pertanyaanku yang bukan menjadi jawaban dari pertanyaannya.
            “Tentu saja ibu dan bapak menginginkan rumah sendiri daripada mengontrak. Ya… walaupun tak harus besar dan bagus. Maksud kamu apa menanyakan hal ini kepada ibu? Ibu nggak mengerti dengan pertanyaan kamu Ngga.”
            Kembali aku menghadapkan wajahku pada ibuku, lalu sambil tersenyum aku menjawab dua pertanyaannya sekaligus dengan satu jawaban.
            “Begini loh bu, tadi sebelum ibu membangunkanku, aku sedang membuat sebuah rumah yang megah dan indah untuk ibu dan bapak. Tapi aku membuatnya dengan memakai ribuan bintang kecil di angkasa sana.” Jelasku sambil mengancungkan jari telunjuk ke arah langit-langit rumah dengan semangat. Ibuku  pun langsung tertawa geli ketika mendengar penjelasan yang aku berikan.
            “Angga, Angga… kamu ini ada-ada saja, mimpimu itu terlalu besar untuk dinyatakan jika sebesar bintang dan mimpimu itu terlalu indah untuk diungkapkan jika seindah bintang pula. Tapi mimpimu itu tidak akan sulit dibuktikan jika itu bintang kecil, kelak suatu saat nanti.”

*** *** ***
            Waktu terus bergulir, seiring hari yang terus berganti dan akhirnya aku pun mulai beranjak duduk di bangku kelas VI SD, dan ujian pun telah kami selasaikan semua.
            Keesokan harinya pagi yang sangat cerah, sekaligus kesedihan yang kami alami. Yaitu, hari perpisahan di mana kami sekelas dengan seorang guru yang sangat kami hormati, ibu Citra kami memanggilnya.
            Ketika itu ia menanyakan satu persatu dari kami semua, Setelah tamat SD ini Kalian mau melanjutkan ke mana? Satu persatu pun menyebutkan tujuan sekolahnya masing-masing. Dan tibalah giliranku untuk menyebutkan sekolah yang akan aku tuju. Dan aku pun mengatakan semua impian yang aku tulis ketika aku baru memulai di Sumatera Selatan, yaitu impianku yang ingin sekolah ke pondok pesantren, karena aku ingin menjadi seorang da’i yang bisa membawa umat ini menjadi umat yang berkualitas.
            Semua teman-temanku tertawa dan melecehkanku, mereka mengatakkan kalau aku adalah seorang anak yang miskin dan mustahil bisa untuk bisa sekolah di pesantren. Tapi aku yakin, kalau aku pasti bisa menjawab semua lecehan dan hinaan teman-teman sekelasku. Dan yang paling membuatku menangis ibu guruku juga menertawakan ku. Aku pun mengatakan kepada mereka,
            “Ingatlah wahai teman-temanku, suatu saat nanti kalian pasti akan melihat aku berbicara di depan orang banyak dan mendapatkan penghargaan yang luar biasa.”
            Semua teman-teman ku terdiam dan menundukkan pandangan mereka, karna waktu itu aku berbicara sambil menangis. Akupun lansung meninggalkan kelas tampa sebab, Dan berlari sekencang-kencangnya.
            “Ya Allah beginikah nasib seorang anak miskin yang tidak memiliki harta, yang tak mampu untuk bisa meraih semua impiannya, oleh karna aku termasuk anak seorang yang miskin.”  Gumamku.
            Dan hari kelulusan telah kami lalui, akupun mendekatkan diriku dan bertanya kepada ayah dan ibuku kalau aku ingin melanjutkan sekolahku ke pondok pesantren. Ibu dan ayahku langsung terdiam dan membisu karna tak bisa menjawab pertanyaan yang aku ajukan. Lalu ayahku bilang kalau aku akan di masukkan di SMP Negeri 8 Palembang.
            Hatiku langsung menangis akan mendengar jawaban dari seorang ayah yang selama ini aku kagumi. Aku tidak mau sekolah di SMP karna impian dan tujuanku bukan ke SMP melainkan ke pondok pesantren. Bahkan aku sudah didaftarkan di SMP Negeri 8 Palembang, dan sudah memulai belajar selama satu minggu lamanya. Akupun tidak pernah masuk sekolah karna aku tak ingin sekolah di SMP.
            Sampai akhirnya akupun berhenti sekolah. Aku tidak akan pernah untuk menyerah akan semua impian yang selama ini menjadi bahan semangatku untuk meraih semua impian itu.  Ya… sekolah di pondok pesantren .
            Aku baru ingat kalau aku memiliki seorang kakak yang sedang bekerja di Malaysia, ia bekerja di Perusahaan electronik di bagian pembuatan lemari es, televisi dan sebagainya.
            Akupun bergegas ke pasar dan mencari wartel guna menelpon kakakku yang berada di Malaysia. Kemudian kuceritakan semua kesah-keluhku selama ini kalau aku ingin sekolah ke pondok pesantren . seorang kakak yang selalu sayang akan diriku.
            Kakakku mengatakan. “Angga.. kalau kamu ingin masuk pesantren, silahkan nggak apa-apa, soal biaya biar nanti kakak yang tanggun semuanya.” Seketika itu aku langsung sujud syukur atas keajaiban yang Allah berikan padaku. Orang di wartel heran melihat aku sedang sujud di lantai yang kurang bersih. Aku sama sekali tidak memperdulikan mereka yang jelas aku sujud dan sambil menangis berterimakasih kepada Allah SWT.
            Langsung saja aku bergegas pulang dan menceritakan semua pembicaraanku dengan kakakku lewat wartel. Selesai aku ceritakan semua apa yang terjadi, ibuku lansung saja memeluk erat tubuhku sambil menangis dan berkata.
“Nak, Besok kita cari pondok pesantren dan kamu bisa sekolah di sana sampai tamat.”  
Sungguh, benar-benar keajaiban yang aku rasakan saat itu, dan aku berjanji akan membahagiakan ibu dan ayahku sampai kapanpun.
Dan sekarang awal mimpi itu telah aku jalankan di pondok pesantren Raudhatul Ulum. Sebab itu alasanku memberi judul cerpen ini, “Ma’hadi Jannati.” Karna bagiku pondoku adalah surgaku yang ada di dunia.

*** *** ***
“Saudaraku, mulailah impian kalian dengan rasa yakin kalau kalian akan menjadi orang yang berhasil di kemudian hari, tapi kalau impian kalian dimulai dengan rasa ragu, maka kalian tidak akan pernah mandapatkan impian itu.”
(Salam Penulis)







Sekilas Untaian Kata
 Di Palembang, penulis terlahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara tepat pada tanggal, 25 mei 1992. Seorang anak laki-laki dari pasangan Yasir dan Ratna ini kemudian diberi nama lengkap .
Rizky Angga Putra.
            Entah karena kepapaan atau alasan lainnya, dirinya lebih memilih sekolah di pondok pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya Ogan Ilir  dari pada sekolah formal seusai penulis lulus dari bangku SD. Hanya mengenyam pendidikan formal tingkat dasar pada abad modern ini memang terasa pahit dan getir.
            Dari hobinya membaca buku, akhirnya lahirlah tulisan ini yang merupakan sebuah kisah nyata dalam masa kecilku dulu yang diharapkan menjadi satu titik dari kepenulisan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
            Kini, penulis bermukim di Sungai Buah, No 1787 RT 16 Kec. Ilir Timur II Palembang. SUMSEL .

No Hp : 085669233400
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar